Di Jepang, setiap tanggal 7 bulan 7 (7 Juli) diadakan Festival Tanabata (七夕) Festival Tanabata berasal dari daratan Cina. Tanabata diperkenalkan ke Jepang pada periode Nara (710-784). Saat periode Heian (794-1192) acara ini menjadi sebuah perayaan bagi anak-anak dan remaja putri yang mengharapkan bertambahnya kepandaian mereka dalam menjahit, merajut, kaligrafi, origami, dan kerajinan tangan lainnya.
Sejatinya ada banyak versi tentang Tanabata. Ada yang mengatakan bahwa Tanabata adalah kisah cinta penggembala bernama Altair/Aquila/Hikoboshi dan penenun Vega/Shokujo/Orihime di negeri bintang. Orihime memang mahir menenun dan dikenal sebagai penenun kain dewa penguasa langit. Pekerjaan itu sangat menyibukkan Orihime sehingga tak punya waktu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk menenun kain bagi dirinya.
Demikianlah, ayahnya yang khawatir kesendirian Orihime memperkenalkannya dengan Hikoboshi, penggembala sapi yang tinggal di seberang Sungai Milky Way (gugusan Bima Sakti). Keduanya makin dekat. Dewa penguasa kerajaan langit sepakat dan akhirnya menikahkan sejoli itu.
Tetapi, cinta sering membuat orang mabuk kepayang. Ini terjadi pada pasangan tersebut. Orihime lalai menunaikan tugas yang membuat dewa penguasa langit murka. Dewa pun melarangnya untuk bertemu dengan suaminya. Keduanya terpisahkan oleh sebuah sungai. Orihime menangis dan memohon ampun. Setelah beberapa hari berhasil meluluhkan hati sang dewa. Akhirnya dewa mengizinkan pasangan ini untuk dapat saling bertemu setiap tanggal 7 di bulan 7. Peristiwa pertemuan inilah yang kemudian disebut Tanabata.
Versi hikayat lain menyebutkan bahwa keduanya sebenarnya manusia biasa yang menikah di usia 12 dan 15 tahun. Hikoboshi meninggal di usia 95 tahun dan Orihime 103 tahun. Setelah meninggal arwah keduanya terbang ke langit, ke Milky Way, tempat pemandian raja penguasa langit. Tetapi arwah mereka tidak diperbolehkan mengotori Milky Way kecuali pada hari ketujuh di bulan ke tujuh, ketika raja penguasa langit tengah pergi untuk mendengarkan lantunan doa-doa sang Buddha.
Toh, dongeng atau legenda di balik Festival Tanabata selalu dikenang dan dirayakan segenap warga Jepang. Di dalam Manyoshu atau kumpulan puisi-puisi kuno Jepang yang diterbitkan sekitar 760, terdapat bait: sore saat jumpa/Tanabata tiada akhir/esok mengawali tahun berikut.Biasanya, saat perayaan Tanabata, tempat-tempat umum di Jepang akan tampak ramai berhiaskan pohon sasaki yang kudus melambangkan kemurnian (hati). Selain itu, ada berbagai dekorasi bergelantungan di langit-langit rumah, masing-masing dengan berbagai arti dan tujuan yang turut meramaikan perayaan pertemuan itu. Beberapa hiasan itu antara lain washi (kertas aneka warna berbentuk ulir melambangkan benang yang akan digunakan oleh Orihime), senbatsuru atau krans bangau (krans yang terbuat dari origami berbentuk lipatan bangau yang merupakan lambang pengharapan keselamatan dan kesehatan untuk seluruh keluarga). Krans juga melambangkan kehidupan 1.000 tahun.
Lalu ada juga tanzaku, berupa potongan kecil kertas persegi bertulisan berbagai harapan sang penulis untuk kemajuannya di bidang pengetahuan dan bertambahnya kemahiran mereka melukis kaligrafi huruf Jepang. Kamigoromo, yakni kimono kertas yang melambangkan wujud manusia agar dijauhkan dari penyakit dan malapetaka. Kuzukago atau kantong tempat sampah, yang melambagkan kebersihan dan juga dibutuhkan masyarakat yang beradab, dantoami, semacam jaring ikan yang terbuat dari potongan kertas melambangkan panen. Merupakan metafora harapan dari para nelayan dan petani agar usaha mereka berhasil.
Selain itu juga dekorasi cabang-cabang bambu. Di akhir hari Tanabata, cabang-cabang bambu itu dilempar ke sebuah sungai yang bermakna membuang kesialan. Di seantero Jepang, Festival Tanabata berkembang menjadi atraksi yang sangat diminati turis. Salah satunya, di kota Sendai, sangat terkenal dalam hal dekorasi unik Tanabata.